Oleh: Prof. Dr. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Majalahfajarislam.com-Konsep imam Mahdi merupakan salah satu perbincangan Syiah dalam bab Imamah (kepimpinan dan politik), dan konsep ini merupakan akhir dari perjalanan pembahasan Imamah Duniawi dalam akidah Syiah. Oleh karena itu sebelum membincangkan konsep imam Mahdi dalam ideologi Syiah, maka ada baiknya kalau mengenal terlebih dahulu konsep Imamah Syiah secara keseluruhan.
Dalam
tulisan penulis sebelumnya yang bertajuk “Agenda Politik Syiah” PTS
Millennia 2013, telah didedahkan bahwa Imamah merupakan faktor utama
yang menyebabkan perselisihan di kalangan umat Islam sampai saat ini,
sehingga terpecah pecah ke berbagai aliran, sekte dan mazhab, dan
konflik antar sekte Islam sepeninggalnya Nabi Saw didasarkan pada
suksesi politik untuk merebut tampuk kepemimpinan. Dalam istilah Syiah
politik dinamakan (al-Imamah), dan istilah yang digunakan Sunni adalah
(al-Khilafah), dan zaman modern saat ini dikenal dengan istilah
(al-Riasah). Dalam pandangan politik Syiah dikatakan bahwa Imamah
bukanlah masalah kepentingan pribadi yang diberikan kepada pilihan
publik, tetapi ianya adalah salah satu pilar agama atau asal-usul dan
dasar prinsip agama (Arkan al-Din) di mana iman seseorang tidaklah
sempurna kecuali percaya dengan Imamah, oleh karena itu Imam Ali
merupakan pelanjut Nabi Saw yang sah dengan penunjukan langsung dari
Nabi Saw (bukannya Abu Bakar), dan para Imam setara dan sebanding dengan
kedudukan Nabi Saw, berdasarkan pandangan dan asumsi di atas Syiah
dalam setiap kasus berpendirian bahwa hak politik adalah mutlak dimiliki
oleh kalangan Ahlul Bayt saja.
Pada
dasarnya konsep politik Ahlu Sunnah didasari oleh tiga hal, yaitu dengan
cara pemilihan (ikhtiar) yang dibangun di atas syura, Ijma’ dan
bay’ah. Adapun konsep politik Syiah dilandaskan oleh penentuan yang
dalam istilah Syiah selalu disebut sebagai “Nash”, di samping itu
penyifatan ‘Ishmah atau kemaksuman seorang imam tidak dapat dipisahkan
dengan Imamah (kepimpinan Syiah). Di sisi lain Sunni menyerukan suksesi
berdasarkan seleksi dan konsensus yang dilakukan oleh rakyat yang
diwakili oleh Ahlul Halli wa al-Aqdi dalam memilih kelayakan seorang
pemimpin atau presiden.
Oleh karena
itu, kepentingan Imamah dalam Syiah amat tinggi dan jauh berbeda dengan
wacana kepimpinan dalam Ahli Sunnah wal Jamaah, karena segala sesuatu di
dunia ini mereka kembalikan kepada imamah dan berbagai perangkatnya.
Oleh karena itu, mereka jadikan imamah sebagai dasar akidah mereka.
Sedangkan ahlu sunnah menjadikan imamah sebagai bagian masalah
furu’iyyah berdasarkan dalil-dalil yang ada.
Berdasarkan
hal ini, maka para ulama ilmu kalam terpaksa memasukkan materi “imamah”
dalam kitab akidah atau yang dikenal dengan ilmu ushuluddin sebagai
reaksi terhadap tindakan Syiah yang menjadikannya sebagai salah satu
persoalan agama yang paling penting, sampai mereka memasukkannya sebagai
salah satu rukun imam. Hal ini telah disinyalir oleh imam Shalih
al-Muqbali dengan ucapannya, “ imamah adalah masalah fiqhiyyah, akan
tetapi para ulama kalam telah memasukkannya ke dalam pembahasan mereka
akibat besarnya polemik antara mereka (Syiah dan Sunni), sebagaimana
halnya sebagian ulama asy’ariyyah telah menjadikan persoalan membasuh di
atas kasut sebagai salah satu masalah ilmu kalam”[1].
Pelantikan
seorang imam menurut pandangan asy’ariyah adalah suatu perkara yang
wajib secara tekstual agama (sam’i), sedangkan menurut zaidiyah dan
mu’tazilah adalah suatu kewajiban secara logik (akli), dan menurut
imamiah serta isma’iliyah pelantikannya adalah suatu kewajiban bagi
Allah. Sedangkan kelompok khawarij berpendapat bahwa pelantikannya sama
sekali tidak diwajibkan, namun imamiah mewajibkannya demi menjaga
berbagai undang-undang syariat dari perubahan yang disebabkan oleh
adanya penambahan dan pengurangan, dan isma’iliyah mewajibkannya demi
mengenalkan Allah dan sifat-sifat-Nya, yang artinya, menurut pendapat
mereka bahwa kewajiban adanya seorang imam bertujuan untuk mengenal
Allah melalui para imam[2].
Sebenarnya
secara realitasnya, imamah adalah batu fondasi dalam seluruh aliran
Syiah – Syiah zaidiyah, Syiah imamiah, dan Syiah isma’iliyah bathiniah-.
Mereka semua sepakat menjadikannya sebagai salah satu dasar agama[3].
Dan syaikh al-Mufid –seorang ulama besar imamiyah- berpendapat bahwa
manakala imamah menjadi kaidah yang utama dan rukun bagi aliran Syiah,
maka zaidiyah masuk ke dalam golongan Syiah, karena zaidiyah memiliki
dasar yang sama[4].
Ini
adalah sebuah statement yang benar, sebagaimana yang telah diungkapkan
secara terang-terangan oleh para ulama Syiah zaidiyah dalam berbagai
kitab mereka yang berbeda. Misalnya, perkataan imam al-Husain bin
al-Qasim al-Iyani az-Zaydi: “sesungguhnya imamah adalah suatu fardhu
dari Allah yang tidak ada seorang pun yang mampu untuk tidak
memedulikannya”[5].
Dan imam Ahmad bin al-Hasan ar-Rashshash az-Zaidi juga berkata:
“sesungguhnya imamah adalah salah satu dasar agama yang penting yang
wajib diketahui oleh semua orang mukalaf”[6].
Dan imam Humaidan bin Yahya az-Zaidi berkata: “sesungguhnya mengetahui
berbagai perkara imamah termasuk dasar agama yang diwajibkan yang jika
diabaikan berhak untuk diberikan dosa dan siksaan. Maka orang yang
mengaku dirinya sebagai Syiah mempunyai dua pilihan, mengakui apa yang
telah disepakati dan mengakui kebenarannya, atau tidak, jika dia
mengingkarinya atau menakwilkannya maka dia bukanlah orang Syiah”[7].
Sedangkan
imam Abul Qasim Muhammad bin al-Hutsi, penganut Syiah zaidiyah modern
berkata dalam penghujung kitabnya “al-Maw’izhah al-Hasanah, setelah dia
sebutkan semua masalah ushuluddin dan di antaranya adalah imamah: “maka
ini adalah tiga puluh masalah dasar agama sesuai dengan kaidah moyang
kita ahlul bait, maka harus diterima dengan penuh keyakinan, dan tidak
boleh hanya sekedar mengikut kepada seorang mukalaf dalam masalah ini”[8].
Di
antara bukti-bukti teks ucapan Syiah imamiyah yang menunjukkan bahwa
imamah masuk ke dalam dasar agama adalah perkataan Ibnu al-Muthahhir
al-Hulli al-Imami[9]
dalam mukaddimah kitabnya “Minhaj al-Karamah”: “ amma ba’du, maka ini
adalah sebuah risalah yang mulia, dan maqalah yang lembut, yang mencakup
beberapa unsur yang paling penting dalam dasar agama, dan yang paling
mulia di antara berbagai permasalahan kaum muslimin. Yaitu masalah
imamah yang terbentuk dengan sebab dia mencapai derajat yang mulia, yang
merupakan salah satu rukun iman, yang karena sebabnya orang yang
memiliki hak untuk menjadi imam akan kekal berada di surga dan terbebas
dari kemurkaan Yang Maha Pengasih”[10].
Sedangkan
seorang ulama Syiah imamiah modern syaikh Muhammad Ridha al-Muzhaffar
berkata: “ kami memiliki keyakinan bahwa imamah termasuk salah satu
dasar agama, yang keimanan seseorang tidak akan sempurna kecuali dengan
meyakininya”[11].
Sedangkan
teks ucapan Syiah Isma’iliyah bathiniah yang berkaitan dengan imamah
adalah sebagaimana yang dipetik dari perkataan seorang pendakwahnya
Hamiduddin al-Karamani al-Bathini, yaitu: “sesungguhnya imamah adalah
salah satu dasar Islam, dan dia adalah dasar yang paling mulia dan
paling afdhal, sehingga dasar ini tidak akan dapat sempurna tanpanya”[12].
Bagaimanapun
juga, maka sesungguhnya imamah menurut aliran Syiah bukan sebuah
permasalahan maslahat yang tunduk dengan pilihan dan aspirasi umum. Akan
tetapi dia adalah sebuah permasalahan dasar dalam agama (ushuli), yang
masuk ke dalam salah satu rukun agama, yang tidak boleh diabaikan dan
diacuhkan oleh Rasulullah saw, atau diserahkan pemilihannya kepada
masyarakat umum. Oleh karena itu, maka syarat untuk bergabung kepada
aliran Syiah adalah berkeyakinan bahwa imamah merupakan bagian dari
dasar agama.
Berdasarkan hal ini, Syiah
memberikan perhatian yang besar bagi permasalahan imamah. Dan berbicara
panjang lebar mengenainya, dan semua aliran dan kelompok Syiah yang
berbeda memberikan perhatian yang besar kepadanya[13].
Hasilnya
adalah, mereka membuktikan di hadapan semua manusia dan dengan cara
yang tidak langsung bahwa imamah adalah warisan khusus untuk ahlul bait
atau keluarga
Nabi saw, maka orang yang selain mereka ini tidak boleh menjadi imam
bagi umat Islam. Hal ini dikuatkan oleh perkataan imam Ahmad bin Yahya
al-Husain az-Zaydi[14]: “..kemudian Allah Azza wa Jalla memilih ahlul bait, dan Dia jadikan kepemimpinan dan politik untuk mereka”[15].
Dengan
statement ini menjadi jelas bagi kita bahwa aliran Syiah dengan
berbagai perbedaan aliran dan kelompoknya telah bersepakat bahwa Nabi
saw telah memilih Ali ra untuk menjadi penggantinya setelah beliau
meninggal dunia. Dan Nisywan al-Humyari az-Zaydi memberitahukan kita
mengenai konsensus aliran Syiah ini: “semua Syiah berpendapat bahwa
sesungguhnya Ali as adalah orang yang paling utama menempati posisi
Rasulullah saw setelah kematiannya. Dialah orang yang paling berhak
terhadap imamah dan menjadi pemimpin untuk umatnya”[16].
Hal
ini juga telah diisyaratkan oleh asy-Syahrastani al-Asy’ari ketika dia
memberikan definisi Syiah: “ orang-orang yang mendukung Ali ra secara
khusus, dan mereka mengakui keimamahannya dan kekhilafahannya baik
secara teks ataupun secara ucapan, secara terang-terangan ataupun secara
tersembunyi”[17].
Teks
yang menunjukkan tentang penunjukan Ali ra untuk memegang tampuk imamah
adalah yang dipaparkan dalam peristiwa Ghadir Kham, yaitu pada sebuah
hadits yang mereka nisbahkan kepada Rasulullah saw yang berkaitan dengan
perkara Ali bin Abi Thalib ra: “ tidakkah kalian mengetahui bahwa aku
lebih utama bagi orang mukmin dari diri mereka sendiri? Mereka menjawab:
iya. Beliau kembali bersabda: barang siapa yang menganggap aku sebagai
tuannya maka Ali juga adalah tuannya. Ya Allah tolonglah orang yang
menolongnya, musuhilah orang yang memusuhinya, bantulah orang yang
menolongnya, kecewakanlah orang yang mengecewakannya, dan iringilah
kebenaran bersamanya ke manapun dia pergi”[18].
Imam
Yahya bin Hamzah az-Zaydy mengatakan bahwa dalil yang menunjukkan
imamah Ali bin Abi Thalib merupakan dalil yang qath’i, yang kebenarannya
mutlak sah, dan tidak masuk ke dalam permasalahan ijtihad, sebagaimana
yang diklaim oleh sebagian orang. Maka barang siapa yang menyalahinya
tidak diragukan lagi bahwa dia telah bersalah, karena dia telah
menyalahi dalil yang qath’i[19].
Akan
tetapi, sebenarnya jika kita teliti dan selidiki apa yang disabdakan
oleh Rasulullah saw pada peristiwa hajjatul wada’, maka dapat kita lihat
dengan jelas bahwa beliau sama sekali tidak menyebut perkara yang
berkaitan dengan kekhilafahan. Sesungguhnya yang beliau sebutkan adalah
keutamaan amirul mukminin Ali ra, karena sebab jasanya kepada kaum
muslimin. Oleh karena itu, Syiah tidak cukup hanya berpegang dalil
kepada peristiwa Ghadir Kham untuk menunjukkan keimamahan imam Ali, akan
tetapi mereka – dengan semua aliran mereka meskipun mereka saling
berselisih pendapat dan memiliki akidah yang saling berbeda- sama-sama
bersandarkan kepada ayat-ayat al-Quran untuk menguatkan keyakinan mereka
mengenai kewajiban untuk menjadikan Ali ra dan keturunannya sebagai
khalifah. Di antaranya adalah firman Allah swt: “Sesungguhnya penolong
kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada
Allah)”. (QS. Al-Ma`idah: 55). Dan juga firman-Nya: “taatilah Allah dan
taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS. an-Nisaa: 59).
Mereka berkata: sesungguhnya yang dimaksud dengan “ulil Amri” adalah para imam dan keturunan mereka yang berasal dari Ali ra[20].
Berdasarkan
ini, maka faktor yang menyatukan mereka adalah keyakinan bahwa imam Ali
dan kedua anaknya, Hasan dan Husain adalah para imam. Sedangkan
mengenai para imam yang setelahnya mereka saling berselisih pendapat.
Oleh karena itu, setiap golongan Syiah zaidiyah, imamiyah, dan
isma’iliyah saling berusaha membuktikan bahwa yang berhak memegang
imamah adalah imam kelompok mereka. Maka mereka memberikan perhatian
yang sangat besar dalam permasalahan imamah ini sampai mereka jadikan
hal ini sebagai dasar agama yang paling utama.
Guru saya, DR. Hasan al-Syafi’i[21]
menyebutkan dalam suatu isyarat yang ringkas bahwa Syiah tidak hanya
saling berselisih pendapat dalam jumlah para imam serta penetapan
keturunan mereka saja, akan tetapi juga mengenai tugas imam itu sendiri.
Menurut Syiah imamiyah, imam adalah pelaksana syariat jika dia memiliki
kekuasaan, dan jalan untuk mencapai ilmu mengenai hukum-hukumnya dengan
hukum ‘ishmah, dan tidak ada lapangan untuk berijithad ketika imam
sudah muncul. Sedangkan menurut Syiah isma’iliyah, imam adalah jalan
untuk mengetahui syariat, dan orang yang memiliki hak untuk melaksanakan
hukum-hukumnya. Dan di samping itu dia juga memiliki tugas untuk
mengurus dunia, karena urusan dunia tidak akan dapat berjalan dengan
baik tanpanya. Sedangkan Syiah zaidiyah berpendapat bahwa tugas imam
adalah hanya melaksanakan hukum-hukum syariat saja, dan pengetahuannya
mengenai hukum-hukum syariat sama seperti pengetahuan mujtahid yang
lain. Dan dengan pendapatnya ini Syiah zaidiyah memiliki titik persamaan
dengan ahli sunnah[22].
Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa dari semenjak permulaan imamah adalah
unsur yang paling penting, kaidah yang paling kuat dalam konsep dakwah
Syiah, dan tempat berteduh yang aman. Dan dia berusaha menegaskannya dan
mendukungnya dengan berbagai cara, baik secara rohani ataupun secara
kekuatan kelompok. Dan berusaha dengan keras untuk mendapatkan berbagai
dukungan dalil mengenai imamah dari al-Quran dan hadits, sehingga
tercipta suasana keimanan dan kesucian mengenai imamah, yang pada
akhirnya terus naik derajatnya sampai mencapai derajat kenabian. Para
fuqaha, perawi, dan dai Syiah berusaha dari semenjak awal kemunculannya
menciptakan suasana kesucian ini di sekeliling imamah dengan melalui
berbagai kitab dan risalah yang mereka ciptakan[23].
Akan
tetapi, Syiah zaidiyah –selain Zaidiyah al-Jarudiyah- dikecualikan dari
ini semua. Dan yang berjasa melakukannya adalah imam Zaid bin Ali,
pendiri kelompok ini. Karena berbagai pendapatnya muncul dalam bentuk
yang moderat, sebagai reaksi terhadap meluasnya pendapat-pendapat yang
ekstrem dalam masa kekuasaan umawiyah yang disebabkan oleh sempitnya
pemikiran dalam tubuh Syiah. Maka pada masa itu muncullah berbagai
pemikiran yang radikal dan menyimpang yang dipicu oleh penindasan dan
kezaliman penguasa. Muncullah pemikiran tentang ketuhanan Ali ra,
kemunculan kembali Nabi saw, dan penafian kematian Ali ra, serta masih
banyak lagi pemikiran menyimpang yang lainnya.
Berbagai pemikiran imam Zaid muncul di tengah munculnya tiga pemikiran ini:
- Pertama: sesungguhnya kekhilafahan ditetapkan dengan keturunan bukannya secara pemilihan.
- Kedua: keyakinan mengenai perampasan Abu Bakar terhadap hak kekhilafahan yang sepatutnya milik Ali.
- Ketiga: kema’shuman para imam. Serta berbagai keyakinan yang batil yang lainnya.
Dari
sini, aliran zaidiyah lahir sebagai suatu reaksi terhadap para
ekstremis Syiah khususnya Syiah imamiah dan Syiah isma’iliyah bathiniah.
Dan Syiah zaidiyah membuat jembatan yang menjadi penyambung antara ahli
sunnah dan Syiah. Karena mereka tidak menerima pendapat mengenai adanya
nash jalliy (teks yang jelas), kema’shuman para imam, kemunculan
kembali Nabi saw, serta ide mengenai kemunculan imam al-Mahdi
al-Muntazhar. Semua akidah ini diyakini oleh Syiah imamiah dan Syiah
isma’iliyah bathiniah dalam kadar yang sama. Dan ini bukanlah sesuatu
yang aneh, karena pada permulaan kemunculannya dasar Syiah isma’iliyah
diadopsi dari dasar Syiah imamiah, lalu di kemudian hari keduanya
berpecah mencari jalan masing-masing.
- Ahmad Subhi –Profesor filsafat Islam Universiti Alexandria Mesir- berpendapat dan menganalisis bahwa sebab pengingkaran zaidiyah terhadap pemikiran ini adalah karena mereka berkeyakinan bahwa kemunculan imam al-Mahdi tidak terlepas dari keyakinan terhadap imamah itu sendiri, karena semua keturunan Fathimah az-Zahra yang pemberani, alim, zuhud, dan yang berperang dengan pedang demi menyeru kepada kebaikan adalah seorang imam dan juga al-Mahdi dalam satu waktu. Jadi berbeda dengan pemahaman mengenai imam al-Mahdi yang memiliki makna penantian akan munculnya seorang pembebas atau seorang yang ikhlas yang diutus oleh Allah. Menurut zaidiyah, semua imam zaidiyah, seperti imam Zaid dan anaknya Yahya dan Muhammad adalah jiwa yang suci yang juga merupakan imam Mahdi[24].
Patut
untuk diperhatikan bahwa pemahaman imamah menurut Syiah isma’iliyah
bathiniah tidak banyak berbeda dengan Syiah imamiah. Mereka sama-sama
berpendapat bahwa imamah termasuk salah satu rukun Islam yang paling
mulia dan paling utama. Dan rukun Islam ini hanya dapat sempurna dengan
adanya unsur imamah. Bahkan imamah ini adalah suatu derajat yang tinggi
yang dikhususkan untuk Ali bin Abi Thalib. Bagi mereka imamah ini sama
dengan kenabian, dan menjadi penerus bagi kenabian. Oleh karena itu,
wajib dan mesti ada seorang imam pada setiap satu masa, untuk
mengajarkan manusia mengenai perkara agama dan dunia, serta berbagai
keyakinan yang lainnya[25].
Hamiduddin
al-Karamani yang merupakan seorang dai Syiah isma’iliyah bathiniah
berkata: “sesungguhnya bumi ini tidak kosong dari seorang imam yang
muncul demi menegakkan hak Allah, baik secara zahir dan terang-terangan,
ataupun secara tersembunyi dan tidak kelihatan”[26].
Setelah
kami paparkan mengenai teori imamah menurut aliran Syiah secara umum,
maka selanjutnya kami akan berbicara mengenai teori imamah menurut
pandangan Syiah isma’iliyah bathiniah.
- Musthafa Ghalib seorang penganut Syiah isma’iliyah bathiniah modern memaparkan kepada kita bahwa teori imamah menurut pandangan Syiah isma’iliyah bathiniah berbeda dengan teori aliran Syiah yang lainnya. Karena para dai mereka memasukkan unsur filsafat ke dalam konsep imamah. Oleh karena itu, teori mereka mengenai imamah adalah sesuatu yang baru bagi aliran Syiah. Sehingga beberapa sejarawan dan ulama menilai teori imamah ini adalah sesuatu yang tidak biasa[27].
Ahmad
an-Naisaburi yang merupakan seorang ulama bathiniah menjelaskan
mengenai kepentingan imamah bagi aliran bathiniah, dia berkata: “imamah
adalah pusat dan dasar agama, yang di sekelilingnya berputar berbagai
perkara agama dan dunia, juga kebaikan akhirat dan dunia. Berbagai
perkara hamba Allah diatur dengan imamah, juga pembangunan negara, serta
penerimaan balasan di akhirat. Dan dengan imamah seseorang dapat
mencapai ma’rifah tauhid, risalah dengan hujjah dan dalil, serta
petunjuk yang membawa kepada pengetahuan dan penjelasan syariat”[28].
Dia
juga berkata mengenai daruratnya keberadaan seorang imam dalam setiap
masa dan tempat: “ sesungguhnya keberadaan seorang imam merupakan
perkara darurat yang harus ada. Karena sesungguhnya semua syariat dan
hukum-hukum bergantung kepadanya dan tidak terlepas darinya pada waktu
kapan pun dan masa kapan pun. Menaati mereka merupakan suatu kewajiban
bagi manusia, kepemimpinan mereka merupakan sesuatu yang harus diikuti,
dan hukum-hukum yang mereka tetapkan selalu ada dan berbilang pada semua
masa dan tempat untuk menyelamatkan manusia dari kesesatan dan
kerusakan”[29].
Hal
itu juga diisyaratkan oleh al-Wazir Ya’qub bin Kullais al-Bathini:
“sesungguhnya imamah tidak terlepas dari dunia walaupun hanya sekejap
mata, karena imamah adalah petunjuk kepada manusia”[30].
Sedangkan
ulama bathiniah lain seperti, Abu Ya’qub as-Sajastani al-Bathini
berkata mengenai tugas seorang imam: “ maka kewajiban untuk melantik
para imam pada semua masa adalah bertujuan untuk memberikan petunjuk
kepada manusia, juga untuk menjaga agama”[31].
Isma’iliyah
bathiniah memberikan dalil al-Quran dan hadits bagi pendapat mereka
yang mengatakan bahwa bumi tidak terlepas dari seorang imam ma’shum.
Dalil dari al-Quran adalah firman-Nya Azza wa Jalla: “(Ingatlah) suatu
hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya;”.
(QS. Al-Israa: 71). Juga firman-Nya swt: “Kami telah menjadikan mereka
itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah
Kami”. (QS. Al-Anbiyaa: 73). juga firman-Nya swt: ” Sesungguhnya kamu
hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang
yang memberi petunjuk”. (QS. Ar-ra’d: 7). Maka Allah swt menjelaskan
bahwa bagi setiap manusia dalam setiap masa ada seorang imam yang
memberikan hidayat kepada mereka dengan perintah Allah untuk membawa
kepada agama-Nya dan jalan-Nya yang lurus. Maka pada setiap masa harus
ada seorang imam bagi manusia yang menjadi pemberi petunjuk kepada
mereka, baik secara zahir ataupun secara tersembunyi[32].
Sedangkan dalil mereka dari hadits adalah sebagaimana yang disebutkan oleh hadits Rasulullah saw:
“مَنْ مَاَت وَلَمْ يَعْرِفْ إِمَامَ زَمَانِهِ مَاتَ مَيْتَةً جَاهِلِيَّةً”
Artinya: “barang siapa yang mati tanpa mengetahui imam pada masanya, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah”[33].
Maka hadits ini –sebagaimana yang mereka klaim- memberikan makna bahwa
manusia sangat memerlukan keberadaan seorang imam pada setiap masa dan
tempat[34].
Di
samping dalil al-Quran dan as-Sunnah, mereka juga menggunakan dalil
rasional mengenai kewajiban imamah, mereka berkata: sesungguhnya tabiat
manusia saling berbeda, hawa nafsu mereka juga saling berlainan, dan
juga berbagai peristiwa yang tidak dapat diketahui juga tidak dapat
dibatasi. Pada dasarnya tabiat manusia memiliki keinginan untuk memiliki
dan menguasai, serta menyukai kemenangan. Oleh karena itu, sebagai
suatu kebijaksanaan harus ada seorang hakim di antara manusia yang
menjadi penengah mereka dalam berbagai kejadian. Maka manusia tidak
dapat hidup terlepas dari hukum imam, juga tidak dapat melarikan diri
dari ketetapan keputusannya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi
saw semasa hayatnya. Maka Allah swt telah memberitahukan mengenai hal
ini dalam firman-Nya: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak
beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya”. (QS. An-Nisaa: 65). Dan yang dimaksud dengan hakim adalah
imam, jika begitu maka imamah adalah suatu kewajiban[35].
Berdasarkan
uraian tadi, dapat dilihat bahwa tidak ada perselisihan antara Syiah
imamiah dengan Syiah isma’iliyah bathiniah pada poin ini. Mereka
sama-sama bersepakat bahwa hukum-hukum ilahi hanya dapat dipetik dari
para imam, karena imam adalah orang yang mengetahui segala sesuatu hasil
pengajaran dari alam ghaib. Dan sesungguhnya bumi tidak terlepas dari
keberadaan seorang imam yang ma’shum[36].
Dalam
riwayat al-Kulaini al-Imami beserta dengan sanadnya dari Abu Ja’far as
dipaparkan: “ sesungguhnya jika seorang imam diangkat dari bumi untuk
sesaat saja, maka para penghuni bumi pasti akan bergelombang sebagaimana
bergelombangnya laut dengan para penghuninya”[37].
Hal
ini juga ditegaskan oleh syaikh Muhammad Ridha al-Muzhaffar, seorang
ulama Syiah modern, yang berkata: “oleh karena itu, suatu masa tidak
boleh kosong dari seorang imam yang harus ditaati yang dipilih langsung
oleh Allah taala, tanpa memedulikan apakah manusia enggan ataupun
menerima, juga baik mereka mendukungnya ataupun tidak mendukungnya,
menaatinya ataupun tidak menaatinya, juga apakah mereka tampak
kelihatan dari mata manusia ataupun tidak kelihatan”[38].
Akan
tetapi, Syiah imamiyah dan Syiah isma’iliyah saling berselisih pendapat
mengenai sebab yang membuat mereka memiliki pendapat seperti ini.
Syaikh Ja’far Subhani, seorang ulama Syiah modern berkata memberikan
penjelasan mengenai perbedaan di antara kedua sekte ini: “ aku berkata:
sesungguhnya apa yang telah disebutkan olehnya -oleh bathiniah-
mengenai bahwa bumi tidak pernah terlepas dari keberadaan imam Allah
yang hak, akan tetapi sebabnya bukanlah seperti yang mereka katakan
mengenai pelaksanaan hudud, menjaga aturan-aturan, dan mencegah
kerusakan; maka sesungguhnya hal itu juga dilaksanakan oleh semua
penguasa. Sesungguhnya sebabnya adalah dia –imam- adalah seorang manusia
yang sempurna, dan dia adalah tujuan utama dalam penciptaan, maka
dengan keberadaan manusia yang sempurna itu mesti ada alam dan akhirat
dengan izin Allah swt untuk tercapai tujuan penciptaannya”[39].
Isma’iliyah
bathiniah telah memberikan dan melekatkan beberapa sifat tuhan dan
posisi yang suci dan tinggi untuk para imamnya. Seperti memberikan sifat
bahwa mereka adalah wajah Allah kepada para imam mereka, juga tangan
Allah, sisi Allah, Hujjah Allah, jalan yang lurus, dan zikrul hakim.
Dalil yang mereka gunakan untuk penyipatan ini adalah, sesungguhnya
seorang manusia tidak mengetahui kecuali dengan ajarannya. Dan manakala
seorang imam adalah yang menunjukkan seorang ulama mengenai ma’rifah
Allah, maka dengan sebabnya dia mengenal Allah, jadi dia adalah wajah
Allah yang dengan sebabnya seseorang mengenal Allah. Dan tangan adalah
yang dipergunakan oleh manusia untuk menyerang dan mempertahankan
dirinya, dan imam adalah yang membela agama Allah, dan memerangi
musuh-musuh Allah, maka dia adalah tangan Allah dalam posisi ini.
Bahkan Isma’iliah mengklaim bahwa para imam mereka adalah yang menghisab manusia pada hari kiamat.
Sedangkan di dunia, mereka harus meminta ampunan dari Allah melalui
para imam, karena mereka diibaratkan sebagai khalifah Allah di dunia,
pintu-pintu rahmat-Nya, dan sebab ampunan Allah bagi para hamba-Nya.
Barang siapa yang meminta syafaat kepada mereka akan diberikan syafaat
oleh Allah, barang siapa yang meminta rahmat kepada mereka dirahmati
Allah, dan barang siapa yang bertawassul dengan mereka pasti akan sampai[40].
Jika begitu, maka berdasarkan keyakinan isma’iliyah bathiniah imam Ali
bukanlah Allah akan tetapi dia tidak terlepas dari Allah[41].
Seorang
ulama bathiniah Hibatullah asy-Syairazi mengatakan secara
terang-terangan bahwa para imam adalah wajah Allah, dia berkata: “para
nabi, para pemberi wasiat, dan para imam as adalah wajah Allah taala”[42].
Isma’iliyah
bathiniah juga berpendapat bahwa yang dapat mencapai derajat para nabi
hanyalah para imam. Hal ini diisyaratkan oleh Ahmad an-Naisabury,
seorang dai bathiniah, dengan perkataannya: “sesungguhnya poros agama
terdapat pada seorang imam, dan sesungguhnya seorang imam menjalani
peran Nabi dalam menjalankan syariatnya, dan derajat Nabi serta
posisinya dan syariatnya yang benar yang tidak berubah dan tidak
berganti hanya dapat dicapai oleh seorang imam. Dan hakikat agama dan
ta`wil (penafsiran al-Quran), serta makna-makna syariat hanya dapat
dicapai oleh imam[43].
Sesungguhnya
yang mendorong isma’iliyah bathiniah berpendapat bahwa imam adalah yang
akan menghisab manusia pada hari kiamat didorong oleh keyakinan dan
keimanan mereka yang dalam bahwa semua syariat dan hukum dipegang oleh
imam. Mengenai hal ini dai bathiniah Hatim bin Ibrahim al-Hamidi
berkata: “dan pengumpulan manusia pada hari kiamat bersama imam.
Sesungguhnya imam adalah magnet ulama agama. Dan begitu juga,
sesungguhnya jiwanya yang mulia menarik jiwa-jiwa hambanya sehingga
mereka berada di ufuknya dan perlindungannya. Sebagaimana halnya batu
magnet menarik dinginnya besi jika bercampur dengan pasir, dan batu
magnet mendekatkan kedinginan besi dengan batu magnet yang berada di
balik pasir. Batu magnet ini adalah benda mati yang sama sekali tidak
memiliki akal, lalu bagaimana halnya dengan kehidupan orang-orang yang
alim”[44].
Oleh
karena itu, isma’iliyah bathiniah telah memberikan imamah posisi yang
mulia dan suci. Dan mereka jadikan imam sebagai panutan mereka yang
paling utama, sehingga mereka berikan dia kekuasaan dan keistimewaan
yang besar dan luas. Posisinya sama dengan posisi Nabi saw, dan yang
membedakan dia dengan Nabi saw hanyalah Nabi saw muncul lebih dahulu
dibandingkan dia. Dan dia juga dapat berkomunikasi dengan malaikat
secara akal aktif sebagaimana halnya Nabi saw.
Dalam
hali seorang ulama bathiniah Ahmad an-Naisabury berkomentar mengenai
kepribadian dan keistimewaan imam Ali bin Abi Thalib: “ dan membaur di
dalam zatnya (Ali) kekuatan para nabi, orang-orang yang sempurna, dan
orang-orang yang bijaksana. Hal ini juga ditambah dengan berbagai
perkara yang mereka tidak dapat memperolehnya. Dan seandainya dia tidak
menempati posisi yang suci ini niscaya ilmu dan hukum mereka tidak
sempurna, dapat kekal sepanjang masa. Dan semua unsur jasmani, rohani,
dan bumi telah menyatu dengan amirul mukminin (Ali), dan semua ini
diciptakan untuknya”[45].
Sedangkan
ulama bathiniah yang lain yaitu Idris Imaduddin berkata mengenai
keistimewaan imamah: “ sesungguhnya imamah adalah penyatuan jiwa-jiwa
yang mulia, yang tinggi, yang agung, yang telah dididik dengan berbagai
amal perbuatan yang mulia, dan telah diciptakan berbagai akhlak yang
mulia secara alami, dan diwarnai dengan warna rohani yang mulia, dan
berintisarikan ilmu-ilmu yang lembut dan hakiki”[46].
Dari
sini, kita dapati Ibnu Hani al-Andalusi menggambarkan kepada kita ide
mengenai imamah dan pemahamannya secara umum menurut isma’iliyah
bathiniah dalam sebuah syair:
Apa yang engkau kehendaki adalah apa yang dikehendaki oleh takdir
Maka engkaulah yang memutuskan karena engkau adalah yang esa lagi berkuasa
Di
sini Ibnu Hani manakala memuji imam al-Mu’izz al-Fathimi dia ambil dua
nama dari nama Allah yang utama, yaitu esa dan berkuasa. Dan dia tidak
berikan sama sekali nama yang memberikan makna ciptaan.
Kemudian, Ibnu Hani kembali memberikan imam sifat risalah yang diwarisinya dari Nabi saw dengan ucapan syairnya:
Dan seakan-akan kamu adalah Nabi Muhammad
Dan seakan-akan pendukung kamu adalah pendukungnya[47].
Menurut
DR. Musthafa Ghalib yang merupakan seorang penganut isma’iliyah
bathiniah modern, ungkapan Ibnu Hani ini adalah ungkapan yang paling
tepat[48].
Di
antara karakteristik teori imamah menurut isma’iliyah bathiniah yang
tidak kita temui pada aliran Syiah yang lainnya adalah keyakinan mereka
bahwa sejarah dakwah mereka sudah lama, yaitu berwujud semenjak adanya
makhluk hidup di dunia ini. Oleh karena itu, silsilah imamah menurut
mereka tidak hanya bersumber dari Isma’il bin Ja’far saja, akan tetapi
berakar kepada masa ketika dimulainya penciptaan makhluk hidup. Mereka
berkata: sesungguhnya imamah dimulai dari semenjak dimulainya kehidupan
manusia, maka Adam as adalah imam yang pertama. Dan dasar serta
pewasiatnya adalah seseorang yang bernama Hunaid. Dan masanya dinamakan
sebagai masa pembentukan yang berjalan selama dua ribu delapan puluh
tahun empat bulan dan lima belas hari. Dan berakhir sampai munculnya
imam al-Muntazhar (yang ditunggu) yang masanya dinamakan sebagai masa
yang ketujuh[49].
Isma’iliyah
bathiniah juga memiliki karakteristik yang membedakannya dengan aliran
Syiah yang lainnya dengan pendapat mereka bahwa Islam dibangun
berdasarkan oleh tujuh fondasi, yang tanpa ketujuh fondasi ini seorang
manusia tidak dapat dikatakan sebagai orang Islam dan beriman. Hal ini
dipaparkan oleh al-Qadhi an-Nu’man al-Bathini yang berdasarkan kepada
riwayat Abu Ja’far as, sesungguhnya dia berkata: Islam dibina
berdasarkan tujuh fondasi: wilayah, yang merupakan fondasi yang paling
utama. Dan wilayah dan wali ini adalah jalan untuk mencapai ma’rifah.
Kemudian, thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, dan jihad[50].
Sedangkan
Syiah imamiah berpendapat bahwa Islam dibina berdasarkan lima fondasi,
yaitu: shalat, zakat, puasa, haji, dan wilayah. Disebutkan di dalam
al-Kulaini al-Imami dengan sanadnya dari Abu Ja’far as, dia berkata: “
Islam dibina berdasarkan lima fondasi: shalat, zakat, puasa, haji, dan
wilayah. Dan tidak ada yang dapat menandingi seruan terhadap wilayah”[51].
Juga diriwayatkan darinya: “ Islam dibina berdasarkan lima fondasi:
shalat, zakat, haji puasa, dan wilayah, Zararah berkata: maka aku
berkata: di antara lima perkara ini manakah yang paling utama? Dia
menjawab: yang paling utama adalah wilayah karena dia adalah kunci ke
semua perkara ini, dan wali adalah yang menjadi petunjuk bagi ke semua
perkara ini”[52].
Meskipun
begitu, maka sesungguhnya imamiah dan isma’iliyah bathiniah
–sebagaimana yang dipaparkan oleh nash-nash ajaran mereka- sepakat bahwa
wilayah adalah perkara yang paling utama di antara kelima perkara ini.
Kemudian,
isma’iliyah bathiniah berbeda pendapat dengan aliran Syiah yang lainnya
pada perkara bahwa imamah terbagi kepada dua jenis. Yang pertama: imam
mustaqirr (imam permanen), dan yang kedua: imam mustawda’ (imam
sementara). Berkaitan dengan hal ini al-Qadhi an-Nu’man al-Bathini
berkata: “imam permanen tidak seperti imam sementara, sebagaimana wakil
tidak sama dengan yang mewakilkan, juga sebagaimana pemegang wasiat
tidak sama dengan yang mewasiatkan, dia tidak memiliki kekuasaan untuk
memberikan kepada orang lain sesuatu yang berada di kedua tangannya, dan
dia juga tidak boleh menyerahkan tanggung jawabnya kepada orang lain”[53].
Jadi,
imam permanen adalah imam yang memiliki kekuasaan tersendiri untuk
mewariskan imamah atau kepimpinan kepada anak-anaknya (generasi
selanjutnya). Dan dia tidak akan melakukan kesalahan dalam kondisi
apapun, karena dia memiliki sifat ma’shum secara alami. Sedangkan imam
sementara adalah yang menyerahkan berbagai perkara imamah dalam berbagai
kondisi pengecualian yang sulit sebagai wakil dari imam permanen. Dia
juga memiliki kekuasaan seperti imam permanen, akan tetapi dia tidak
memiliki hak untuk mewariskan imamah. Dan dia memiliki sifat ma’shum
yang diperolehi karena kedudukannya. Nama julukan yang diberikan
kepadanya adalah na`ib ghaibah atau wakil dari imam yang ghaib
(menghilang). Dan manakala para imam menjalani fase persembunyian akibat
takut dari musuh-musuh mereka -yakni sebelum mereka mampu mendirikan
suatu negara-, maka mereka melantik imam-imam sementara untuk mengaburi
mata musuh mereka sekaligus menutupi imam yang sesungguhnya. Jadi jika
seperti ini keadaannya, maka dalam semua masa Syiah isma’iliyah
bathiniah selalu mampu memiliki seorang imam, baik imam permanen ataupun
imam sementara[54].
Seorang
orientalis bernama Bernard Lewis memberikan julukan “imam al-Hafizh”
kepada imam sementara. Karena dengan kepercayaan seperti ini sebagian
ulama Bathiniyah memakai julukan imam dan melaksanakan berbagai
tugasnya. Atau imam yang sebenarnya terus tersembunyi, agar mereka dapat
mengatur pergerakan dan mengalihkan opini umum, sehingga imam permanen
terlepas dari bahaya[55].
Inilah
uraian mengenai pendapat Syiah isma’iliyah bathiniah terhadap imamah.
Oleh karena itu, jika kita perhatikan secara cermat maka kita dapati
dalam ideologi Syiah imamiyah dan Isma’iliyah, bahwa walaupun mereka
memiliki berbagai perbedaan sumber akan tetapi mereka memiliki tujuan
yang satu, yaitu hanya mengonsentrasikan loyalitas yang mutlak kepada
imam mutlak. Maka hanya sang imam sajalah yang menjadi hasil akhir bagi
semua pendahuluan dan poros yang berputar di sekelilingnya berbagai
pemahaman agama dan dalil-dalil akidah. Dia adalah kekuasaan yang paling
tinggi, dan sumber semua undang-undang, atau peraturan, atau syariat.
Dari
sini, sangat jelas –khususnya Syiah isma’iliyah- bahwa tidak ada
keraguan bahwa imam dianggap sebagai poros utama yang di sekelilingnya
berputar semua permasalahan agama, baik akidah ataupun syariah. Akan
tetapi, mereka tidak mengumumkan secara terang-terangan akidah mereka
ini, bahkan akidah ini mereka rumuskan dalam bentuk simbol-simbol
rahasia berdasarkan kepada teori zahir dan batin, sebagai tirai untuk
mencapai apa yang diisyaratkan oleh simbol-simbol tersebut.
Pada
kesimpulannya, Syiah berpandangan bahwa kepemimpinan adalah salah satu
keperluan mendasar dalam kehidupan umat manusia. Dan keperluan ini tidak
dapat diabaikan dalam situasi, kondisi dan keadaan apapun. Dengan
kepimpinan (imamah), tatanan dunia dan agama yang bengkok dapat
diluruskan. Keadilan yang telah dicanangkan oleh Allah akan terealisasi
di muka bumi ini, stabilitas rakyat dan ketenteraman mereka akan terus
terwujud, berbagai kesulitan dan bencana akan dapat diatasi, dan
kezaliman orang yang kuat atas orang yang lemah dapat dicegah.
Dengan
demikian, sebagai asas pemikiran politik Syiah, mereka meyakini bahwa
kebijaksanaan sang Pencipta alam (al-Hikmah al-Ilahiyah) menuntut
perlunya pengutusan para Rasul untuk membina, membimbing dan mengarahkan
umat manusia. Demikian pula halnya mengenai imamah, yakni bahwa
kebijaksanaan Allah Swt juga menuntut kehadiran seorang imam sesudah
wafatnya Rasulullah Saw guna terus dapat membimbing umat ke jalan yang
benar, lurus, (shiratul mustaqim) atau dengan kata lain seorang imam
akan memelihara kemurnian agama dari penyimpangan dan perubahan. (dakwatuna.com/hdn)
Komentar
Posting Komentar