Bagian 2
Apakah tidur membatalkan wudhu?
Bagaimana jika cuma mengantuk, apakah juga membatalkan wudhu? Barangkali
di antara kita pernah mengalami kebingungan semacam ini.
Dalam masalah fikih, kebingungan kadang
muncul bukan hanya karena tidak tahu hukum yang ada, namun tidak sedikit
yang bingung karena banyaknya perbedaan pendapat di antara ulama. Dalam
masalah fikih, khilaf di antara ulama tampaknya telah menjadi sesuatu
yang tidak bisa dihindari.
Karena itu, dalam mengkaji hukum sebuah
permasalahan diperlukan sikap lapang dada dan juga kehati-hatian.
Sehingga kita tidak terjatuh pada sikap mencela orang lain yang berbeda
dengan kita, padahal mereka juga memiliki dalil yang mendukung sikapnya.
Hilang Akal
Ada dua bentuk hilangnya akal seseorang:
- Hilangnya akal secara keseluruhan sehingga seseorang tidak waras lagi dalam berpikir, seperti gila.
- Tertutupnya akal seseorang dalam beberapa saat karena suatu sebab seperti pingsan, mabuk, tidur, dan semisalnya.
Hilangnya akal disebabkan gila, pingsan,
dan mabuk karena minum khamr atau karena minum obat, membatalkan wudhu
seseorang, sebentar ataupun lama. Jadi, bila seseorang gila kemudian
waras kembali, atau mabuk, atau jatuh pingsan kemudian siuman, ia wajib
memperbarui thaharahnya. (al-Mughni, 1/114, Syarah Shahih Muslim, 4/74, al-Majmu’, 2/25)
Inilah pendapat rajih (yang kuat) menurut kami, wallahu a’lam bish-shawab. Adapun al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah
dan yang sependapat dengan beliau memandang bahwa semua perkara di atas
selain tidur tidaklah membatalkan wudhu dan tidak dapat di-qiyas-kan dengan tidur. (al-Muhalla, 1/212)
Tidur
Ulama berbeda pendapat dalam masalah tidur ini sampai 8 pendapat:
- Tidur tidak membatalkan wudhu bagaimana pun keadaannya. Dinukilkan pendapat ini dari Abu Musa al-Asy’ari, Ibnul Musayyab, Abu Mijlaz, Syu’bah, dan Humaid al-A’raj.
- Tidur membatalkan wudhu bagaimana pun keadaannya. Ini merupakan pendapat al-Hasan al-Bashri, al-Muzani, Abu Ubaid al-Qasim bin Salam, Ishaq, dan satu pendapat yang gharib dari al-Imam Syafi’i rahimahullah. Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Aku berpendapat demikian.” Diriwayatkan juga pendapat yang semakna dari Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan Anas radhiallahu ‘anhum.
- Tidur yang banyak/nyenyak membatalkan wudhu bagaimana pun posisinya, sedangkan tidur yang sedikit tidak membatalkan. Demikian mazhab az-Zuhri, Rabi’ah, al-Auza’i, Malik, dan Ahmad dalam satu riwayat darinya.
- Tidur dalam posisi duduk dan pantatnya mapan menempel ke tanah tidaklah membatalkan wudhu. Selain dari posisi ini membatalkan wudhu sama saja tidurnya sedikit ataupun banyak, di dalam shalat ataupun di luar shalat. Demikian mazhab asy-Syafi’i rahimahullah.
- Tidur dalam posisi orang yang sedang shalat seperti dalam posisi ruku, sujud, berdiri, dan duduk tidaklah membatalkan wudhu, sama saja apakah itu terjadi di dalam shalat ataupun di luar shalat. Apabila tidurnya itu dalam keadaan berbaring atau telentang di atas tengkuknya maka akan membatalkan wudhunya. Demikian mazhab Abu Hanifah, Dawud dan satu pendapat yang gharib dari asy-Syafi’i.
- Tidur tidak membatalkan wudhu kecuali tidurnya orang yang rukuk dan sujud. Diriwayatkan pendapat ini dari Ahmad.
- Tidur tidak membatalkan wudhu kecuali tidurnya orang yang sujud. Diriwayatkan pendapat ini juga dari Ahmad.
- Tertidur ketika sedang shalat tidak membatalkan wudhu. Adapun di luar shalat membatalkan wudhu. Ini merupakan pendapat yang lemah dari al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah. (Syarah Shahih Muslim, 4/73)
Yang rajih dari pendapat yang ada[1]
menurut penulis adalah tidur yang nyenyak/pulas membatalkan wudhu.
Adapun tidur yang ringan/hanya sekadar terkantuk-kantuk, di mana orang
yang tidur ini masih mendengar suara di sekitarnya, tidaklah membatalkan
wudhu. (al-Mughni, 1/116)
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Diserukan iqamah untuk shalat sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sedang berbicara pelan (berbisik-bisik) dengan seseorang. Maka beliau
terus berbisik-bisik dengan orang tersebut hingga para sahabat beliau
tertidur. Kemudian beliau datang lalu shalat bersama mereka.” Kata Anas,
“Mereka tertidur, kemudian mereka shalat dan tidak berwudhu.” (HR. Muslim no. 376)
Dalam riwayat Abu Dawud juga dari Anas, ia berkata, “Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menanti dilaksanakannya shalat Isya yang akhir, dalam keadaan kepala
mereka terangguk-angguk (karena rasa kantuk yang berat) kemudian mereka
bangkit mengerjakan shalat tanpa berwudhu.” (Sunan Abu Dawud hadits no.172 dan dinyatakan sahih oleh al-Imam al-Albani rahimahullah dalam Irwaul Ghalil, 1/149)
Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah menyatakan bahwa hadits Shafwan[2]
yang menggandengkan tidur dengan hadats (kencing dan BAB) dibatasi
dengan tidur nyenyak yang membuat orang tidak mengerti apa-apa (hilang
kesadaran).
Adapun apa yang disebutkan Anas berupa
mendengkurnya (beberapa) sahabat ketika dibangunkan, mereka
membaringkan/merebahkan tubuh mereka sampai-sampai dibangunkan untuk
mengerjakan shalat, ditakwilkan (dinyatakan) dengan tidur yang tidak
nyenyak. Terkadang memang ada orang yang mendengkur di awal tidurnya
sebelum ia pulas, demikian pula ada orang tidur dalam posisi berbaring
tetapi tidak mesti menunjukkan tidur yang nyenyak.
Selain itu, seseorang yang baru tertidur
bisa saja dibangunkan agar tersadarkan dan tidak pulas dalam tidurnya.
(Kami nukilkan secara makna dan ringkas sebagaimana di dalam Subulus Salam, 1/97)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
berkata, “Pingsan membatalkan wudhu, karena pingsan itu lebih dari
sekadar tidur sementara tidur yang nyenyak itu membatalkan wudhu, di
mana orang yang tidur tersebut tidak tahu seandainya ada sesuatu yang
keluar dari (kemaluan)-nya.
Adapun tidur yang ringan di mana bila
orang yang tidur itu berhadats dia bisa merasakannya maka tidur seperti
ini tidak membatalkan wudhu, sama saja apakah tidur itu berbaring, duduk
bersandar atau duduk tanpa bersandar atau satu keadaan dari
keadaan-keadaan yang ada. Selama ia bisa merasakan keluarnya hadats
tersebut (seandainya ia berhadats).”
Beliau juga menyatakan, “Tidur itu sendiri bukanlah pembatal wudhu[3],
hanya saja tidur ini merupakan satu keadaan yang diperkirakan/diduga
bisa terjadinya hadats pada keadaan tersebut. Dengan demikian bila
hadats tersebut dapat ditolak, di mana orang tersebut dapat merasakan
bila keluar hadats darinya, maka tidurnya tidaklah membatalkan wudhu.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail, 4/195, 200, 201)
Memandikan Jenazah
Memandikan jenazah tidaklah membatalkan
wudhu dan inilah pendapat yang rajih dari sebagian ahlul ilmi seperti
Ibnu Qudamah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan kebanyakan fuqaha.
Abul Hasan at-Tamimi berkata, “(Bagi orang yang memandikan jenazah) tidak harus berwudhu.” (al-Mughni 1/124, Syarhul Umdah, 1/341)
Mereka menyatakan, menetapkan sesuatu
sebagai pembatal wudhu itu membutuhkan dalil syar’i, sementara tidak ada
dalil dari al-Qur’an, as-Sunnah, atau ijma’ yang menunjukkan memandikan
jenazah membatalkan wudhu.
Adapun atsar dari ketiga sahabat yang disebutkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhum (diriwayatkan Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya
no. 1601, 6107) bahwa mereka memerintah orang yang memandikan jenazah
untuk berwudhu, bisa jadi berwudhu di sini mustahab (sunnah). Jadi,
kalau dianggap wajib, butuh dalil syar’i yang menenangkan jiwa. Sebab,
mewajibkan sesuatu yang tidaklah wajib sama dengan mengharamkan sesuatu
yang tidak haram. (asy-Syarhul Mumti’, 1/247)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
berkata, “Yang wajib bagi kita adalah berhati-hati dalam masalah
pembatal wudhu. Jangan sampai ada di antara kita yang berani mengatakan
perkara ini adalah pembatal wudhu kecuali apabila mendapatkan dalil yang
jelas yang akan menjadi hujah (argumen) baginya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.” (asy-Syarhul Mumti’, 1/247)
Adapun yang lain dari kalangan ahlul
ilmi berpendapat bahwa memandikan jenazah membatalkan wudhu sebagaimana
atsar dari Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma di atas dan pendapat seperti ini dipegangi oleh Ishaq dan an-Nakha’i. (al-Mughni, 1/124)
Berbekam (hijamah)
Mazhab al-Hanafiyyah berpendapat keluarnya darah dikarenakan berbekam (hijamah) merupakan salah satu dari pembatal wudhu.
As-Sarkhasi berkata, “Menurut kami,
seseorang yang berbekam maka wajib baginya berwudhu dan mencuci bagian
tubuh yang dibekam. Karena, wudhu itu wajib dengan keluarnya najis
(yaitu darah bekaman [dianggap] najis di sisi mereka). Bila dia berwudhu
namun tidak mencuci bagian tubuh yang dibekam, maka bila bagian itu
lebih besar dari ukuran dirham, ia tidak boleh mengerjakan shalat. Namun
bila kurang dari itu boleh baginya mengerjakan shalat.”
Adapun ulama mazhab Maliki dan Syafi’i
berpendapat bahwa berbekam atau sengaja mengeluarkan darah dengan
merobek kulit atau urat dan dikeluarkannya segumpal darah dengan cara
diisap tidaklah membatalkan wudhu.
Az-Zarqani berkata, “Berbekam tidaklah
membatalkan wudhu, baik orang yang membekam maupun orang yang dibekam.
Demikian pula sengaja mengeluarkan darah dengan merobek kulit atau
urat.”
Dalam kitab al-Umm disebutkan, “Tidak wajib berwudhu karena muntah, mimisan, dan berbekam.” (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 17/14)
Inilah pendapat yang rajih, karena tidak
adanya dalil yang bisa dijadikan hujah bahwa berbekam itu membatalkan
wudhu. Adapun hadits[4]
yang mendukung penguatan bahwa berbekam tidak membatalkan wudhu, pada
sanadnya ada pembicaraan tentang seorang rawinya, yaitu Shalih ibnu
Muqatil. Al-Imam ad-Daraquthni rahimahullah mengatakan tentang Shalih, “Bukan seorang yang kuat.”
Hadits ini juga dinyatakan dhaif oleh para imam, seperti al-Baihaqi, an-Nawawi, dan al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahumullah. (al-Majmu 2/63, at-Talkhisul Habir, 1/171) (Sehingga kembali kepada hukum asal atau bara’ah ashliyah -red.)
Makan Daging Unta
Seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُوْمِ الْغَنَم؟ِ قَالَ: إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ، وَإِنْ شِئْتَ فَلاَ تَوَضَّأْ. قَالَ: أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُوْمِ الْإِبِلِ؟ قَالَ: نَعَمْ، فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُوْمِ الْإِبِلِ
“Apakah aku
berwudhu setelah makan daging kambing?” Beliau menjawab, “Kalau engkau
mau engkau berwudhu, kalau mau maka engkau tidak perlu berwudhu.” Beliau
ditanya lagi: “Apakah aku berwudhu karena makan daging unta?” Beliau
menjawab, “Ya, berwudhulah setelah makan daging unta.” (Sahih, HR. Muslim no. 360 dari hadits Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhu)
Hadits ini menunjukkan bahwa seseorang
harus berwudhu setelah makan daging unta, karena makan daging unta
membatalkan wudhu. Demikian pendapat Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhu,
Muhammad bin Ishaq, Ahmad, Ishaq, Abu Khaitsamah, Yahya bin Yahya,
Ibnul Mundzir, Ibnu Khuzaimah, al-Baihaqi, dan dinukilkan pendapat ini
dari Ashabul Hadits dan sekelompok sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Syarah Shahih Muslim, 4/48; al-Mughni, 1/122; al-Muhalla, 1/226; Subulus Salam, 1/106)
Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhu
berkata, “Kami berwudhu dari makan daging unta dan kami tidak berwudhu
karena makan daging kambing.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, 1/46, dinyatakan sahih sanadnya oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Tamamul Minnah, hlm. 106)
Pendapat lain menyatakan bahwa makan daging unta tidaklah membatalkan wudhu dengan dalil hadits Jabir radhiallahu ‘anhu, “(Di antara) dua perintah yang akhir dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak perlu berwudhu karena memakan makanan yang disentuh api (dimasak).” (HR. at-Tirmidzi no. 80 dan an-Nasai no. 185)
Yang berpendapat seperti ini adalah
jumhur tabi’in, Malik, Abu Hanifah, asy-Syafi’i, dan murid-murid mereka,
dihikayatkan pula dari Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’b, Abud Darda, Abu
Thalhah, Amir bin Rabi’ah, dan Abu Umamah. (Syarah Shahih Muslim, 4/48; al-Mughni 1/122; Subulus Salam, 1/106)
Dari dua pendapat yang ada, yang rajih dalilnya adalah pendapat pertama. Adapun hadits Jabir, “(Di antara) dua perintah yang akhir dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak perlu berwudhu karena memakan makanan yang disentuh api (dimasak),” dinyatakan oleh Abu Hatim mudhtharib pada matannya.
Sangat dimungkinkan seorang rawinya, yakni Syu’aib, salah menyampaikan haditsnya. (al-’Ilal Ibnu Abi Hatim, 168) Selain itu, ada pembicaraan tentang hadits ini di kalangan para imam ahlul hadits, lihat at-Talkhisul Habir, 1/174—176.
Hadits ini memiliki lafadz dan hukumnya
umum, sementara hadits yang menunjukkan wudhu karena makan daging unta
adalah hadits yang khusus. Kaidah yang masyhur menurut ulama ahli ushul,
ketika ada dalil yang khusus maka dikedepankan pengamalannya daripada
dalil yang umum, wallahu a’lam. Selain itu, makan daging unta
membatalkan wudhu bukan karena ia disentuh api, namun karena
keberadaannya sebagai daging unta, dimasak (dengan api) ataupun dimakan
dalam keadaan mentah tetap saja membatalkan wudhu. (Syarah Shahih Muslim, 4/49; al-Mughni, 1/122—123; al-Majmu’ 2/670; I’lamul Muwaqqi’in 1/298—299; Ijabatus Sail hlm. 36)
Makan Makanan yang Dimasak
Ulama berselisih pendapat dalam masalah
memakan makanan yang dimasak, apakah membatalkan wudhu atau tidak? Dalam
hal ini mereka terbagi dalam tiga pendapat:
- Tidak wajib berwudhu karena memakan makanan yang dimasak apa pun, termasuk di dalamnya makan daging unta dan sama saja apakah makanan itu disentuh api (dimasak) ataupun tidak.
Demikian pendapat jumhur ulama dan
dihikayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Abu Thalhah, Abu Darda,
Amir bin Rabi’ah, dan Abu Umamah. Juga pendapat jumhur tabi’in, Malik,
dan Abu Hanifah.
- Wajib berwudhu karena memakan makanan yang dimasak yang disentuh api. Demikian pendapat Umar bin Abdul Aziz, al-Hasan, az-Zuhri, Abu Qilabah, Abu Mijlaz, dan dihikayatkan Ibnul Mundzir dari sekumpulan sahabat: Ibnu Umar, Abu Thalhah, Abu Musa, Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah, dan Aisyah radhiallahu ‘anhum.
- Wajib berwudhu karena makan daging unta secara khusus. Demikian pendapat Ahmad, Ishaq, Yahya bin Yahya dan al-Mawardi menghikayatkan pendapat ini dari jamaah sahabat seperti Zaid bin Tsabit, Abu Musa, Ibnu Umar, Abu Thalhah, Abu Hurairah dan Aisyah radhiallahu ‘anhum. Ibnul Mundzir menghikayatkan dari Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhu, Muhammad bin Ishaq, Abu Tsaur, Abu Khaitsamah, dan ia memilih pendapat ini, demikian pula Ibnu Khuzaimah. (al-Majmu’, 2/68)
Pendapat inilah yang rajih dengan dalil
hadits Jabir ibnu Samurah di atas dan perkataan beliau, “Kami berwudhu
dari makan daging unta dan kami tidak berwudhu karena makan daging
kambing.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 1/46, dinyatakan sahih sanadnya oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Tamamul Minnah, hlm. 106)
Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Mayoritas ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tabi’in dan orang-orang setelah mereka berpendapat tidak perlu berwudhu karena memakan makanan yang dimasak.” (Sunan Tirmidzi, 1/53)
Ucapan al-Imam an-Nawawi rahimahullah dalam syarahnya terhadap Shahih Muslim dan di dalam al-Majmu’:
“Mayoritas ulama berpendapat (makan daging unta) tidaklah membatalkan
wudhu, di antara mereka yang berpendapat demikian adalah al-Khulafa’ur
Rasyidun yang empat….” Ini merupakan anggapan yang keliru dari beliau rahimahullah.
Kekeliruan beliau ini telah diungkapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam al-Qawa’id an-Nuraniyyah (hlm. 9).
Beliau menyatakan, “Adapun yang
dinukilkan dari al-Khulafa ar-Rasyidun atau jumhur sahabat bahwa mereka
tidak berwudhu karena makan daging unta, sungguh yang menukilkan
demikian telah keliru dalam anggapannya terhadap mereka. Kesalahan
anggapan tersebut karena adanya riwayat bahwa mereka tidaklah berwudhu
karena memakan sesuatu yang dimasak.
Padahal yang dimaksud menurut mereka
adalah keberadaan sesuatu yang dimasak bukan sebagai satu sebab
diwajibkannya berwudhu. Sementara itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan berwudhu karena makan daging unta, bukan karena daging
unta ini telah dimasak. Sebagaimana dikatakan: Fulan tidak perlu
berwudhu karena menyentuh kemaluannya, walaupun dalam satu keadaan wajib
baginya untuk berwudhu setelah menyentuh kemaluannya apabila keluar
madzi dari kemaluannya.” (Sebagaimana dinukilkan dari Tamamul Minnah hlm. 105)
Menyentuh kemaluan (dzakar)
Dari Busrah bintu Shafwan radhiallahu ‘anha, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Apabila salah seorang dari kalian menyentuh dzakarnya, hendaklah ia berwudhu.” ( HR. Abu Dawud no. 154, dinyatakan sahih oleh al-Imam Ahmad, al-Bukhari, Ibnu Ma’in dan selainnya. Kata al-Imam al-Bukhari rahimahullah, “Hadits ini paling sahih dalam bab ini.” Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 174)
Dalam riwayat at-Tirmidzi rahimahullah disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَ يُصَلِّ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Siapa yang menyentuh kemaluannya, janganlah ia shalat sampai berwudhu.”
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata tentang hadits ini, “Hadits sahih di atas syarat al-Bukhari dan Muslim.” (al-Jami’ush Shahih, 1/520)
Sementara Thalaq bin Ali radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seseorang yang menyentuh dzakarnya setelah ia berwudhu, apakah batal wudhunya? Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
وَهَلْ هُوَ إِلاَّ بِضْعَةٌ مِنْهُ
“Bukankah dzakar itu tidak lain kecuali sebagian daging dari (tubuh) nya?” (HR. at-Tirmidzi no. 85 dan kata Ibnul Madini rahimahullah, “Hadits ini lebih baik daripada hadits Busrah.” Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakan sahih sanadnya dalam al-Misykat)
Dua hadits di atas menerangkan, yang
pertama menetapkan menyentuh dzakar itu membatalkan wudhu, sementara
hadits yang kedua menetapkan tidak membatalkan wudhu. Sebagaimana dua
hadits di atas bertentangan makna secara zahirnya, dalam hal ini ada
perselisihan pendapat di kalangan ulama.
- Menyentuh kemaluan membatalkan wudhu.
Ini adalah pendapat Umar, Ibnu Umar, Abu
Hurairah, Ibnu Abbas, Aisyah, Saad bin Abi Waqqash, Atha, Urwah,
az-Zuhri, Ibnul Musayyab, Mujahid, Aban bin Utsman, Sulaiman bin Yasar,
Ibnu Juraij, al-Laits, al-Auza’i, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Malik dalam
pendapatnya yang masyhur, dan selain mereka.
Mereka berdalil dengan hadits Busrah. (Sunan Tirmidzi 1/56; al- Mughni 1/117; al-Muhalla, 1/223; Nailul Authar, 1/282)
- Berpegang dengan hadits kedua, menyentuh zakar tidak membatalkan wudhu.
Di antara yang berpegang dengan hadits
ini ialah ‘Ali, Ibnu Mas’ud, ‘Ammar bin Yasir, Hudzaifah, Abud Darda,
‘Imran bin Hushain, al-Hasan al-Bashri, Rabi’ah, ats-Tsauri, Abu Hanifah
dan murid-muridnya, serta selain. (Sunan at-Tirmidzi, 1/57; al-Mughni, 1/117; Nailul Authar, 1/282)
- Dikumpulkannya dua hadits yang sepertinya bertentangan tersebut.
Di antara yang berpendapat demikian ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan yang lainnya. Mereka menyatakan, apabila menyentuhnya dengan syahwat[5],
hendaknya dia berwudhu dengan (dalil) hadits Busrah; dan kalau
menyentuhnya tanpa syahwat, tidak mengapa hanya saja disenangi baginya
berwudhu[6], dengan (dalil) hadits Thalaq.
Pendapat inilah yang penulis pilih
sebagai pendapat yang rajih, walaupun pendapat yang pertama menurut
pandangan penulis adalah pendapat yang juga kuat yang banyak dipilih dan
dibela oleh ahlul ilmi, seperti al-Imam ash-Shan’ani (di dalam Subulus Salam, 1/104), al-Imam asy-Syaukani rahimahullah (Nailul Authar, 1/283; ad-Darari al-Mudhiyyah hlm. 36), dan yang lainnya.
Namun, penulis lebih condong pada pendapat yang ketiga, wallahu ta’ala a’lam bish-shawab wal ilmu ‘indallah.
Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
‘Hanyalah dzakar itu bagian dari (tubuh)mu’, di dalamnya ada isyarat
yang lembut bahwa menyentuh dzakar yang tidak dibarengi syahwat tidak
mengharuskan wudhu, karena menyentuh dalam keadaan yang seperti ini sama
halnya dengan menyentuh anggota tubuh yang lain.
Berbeda keadaannya apabila ia menyentuh
dengan syahwat maka ketika itu tidak bisa disamakan dengan menyentuh
anggota tubuh yang lain. Sebab, biasanya menyentuh anggota tubuh yang
lain tidaklah dibarengi oleh syahwat. Ini adalah perkara yang jelas
sebagaimana yang kita ketahui. Berdasarkan hal ini maka hadits: “Hanyalah zakar itu bagian dari (tubuh) mu” tidak
bisa dijadikan dalil oleh mazhab Hanafi untuk menyatakan bahwa
menyentuh dzakar tidaklah membatalkan wudhu secara mutlak. Namun, hadits
ini adalah dalil bagi yang berpendapat bahwa menyentuh dzakar tanpa
disertai syahwat tidak membatalkan wudhu.
Adapun bila menyentuhnya dengan syahwat,
dapat membatalkan wudhu, dengan dalil hadits Busrah. Dengan demikian,
terkumpullah dua hadits tersebut. Pendapat inilah yang dipilih oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam sebagian kitabnya berdasarkan apa
yang aku ketahui. Wallahu a’lam.” (Tamamul Minnah, hlm. 103)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah
berkata, “Apabila seseorang menyentuh dzakarnya, disenangi baginya
untuk berwudhu secara mutlak, sama saja apakah ia menyentuhnya dengan
syahwat ataupun tidak. Apabila menyentuhnya dengan syahwat maka pendapat
yang mengatakan wajib baginya berwudhu sangatlah kuat, namun hal ini
tidak ditunjukkan secara zahir dalam hadits. Aku tidak bisa memastikan
akan kewajibannya, namun demi kehati-hatian sebaiknya ia berwudhu.” (asy-Syarhul Mumti’, 1/234)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari
[1]
Walaupun penulis menyadari bahwa pendapat yang mengatakan tidur secara
mutlak juga kuat dalam masalah ini sebagaimana pendapat tersebut
dikuatkan oleh al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah di dalam al-Muhalla (1/213) dan al-Imam al-Albani rahimahullah dalam Tamamul Minnah hlm. 99-103 dan silakan pembaca melihatnya. Namun yang menenangkan hati penulis adalah pendapat yang penulis rajihkan. Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab wal ilmu ‘indallah.
[2] Hadits Shafwan yang dimaksud adalah,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَأْمُرْنَا إِذَا كَانَ سَفْرًا أَلاَّ نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ إِلاَّ مِنْ جَنَابَةٍ وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
kami, bila kami sedang safar agar tidak melepaskan khuf-khuf kami
selama tiga hari tiga malam kecuali bila ditimpa janabah. Namun bila
hanya buang air besar, kencing, dan tidur (tidak perlu melepaskannya).” (HR. At-Tirmidzi no. 96. Dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam al-Jami’us Shahih, 1/538)
[3] Seperti buang air kecil misalnya, banyak ataupun sedikitnya air seni tetaplah membatalkan wudhu.
[4] Diberitakan dari hadits Anas radhiallahu ‘anhu,
أَنَّ النَّبِيَّ احْتَجَمَ وَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dan shalat setelahnya tanpa berwudhu.” (HR. ad-Daraquthni 1/157 dan al-Baihaqi, 1/141)
[5] Karena dalam keadaan demikian ini sangat memungkinkan keluarnya madzi.
[6] Juga disenangi wudhu disini dalam rangka kehati-hatian, wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Komentar
Posting Komentar