Langsung ke konten utama

Kisah Pahitnya Karantina Haji di Pualu Kameran

Majalah fajar Islam-Kameran adalah sebuah pulau dekat Yulamlam di Selatan Jedah. Posisinya sekitar 4 mil dari pantai Arab dengan luas sekitar 40 km. Sebelum memasuki pelabuhan Jedah, kapal yang mengangkut calon haji jamaah harus merapat ke pulau Kameran dan berlabuh di sana untuk menurunkan penumpang yang akan menjalani karantina.


Karena pelabuhan Kameran tidak terletak di bibir pantai, penumpang kapal yang hendak turun ke sana harus menggunakan speedboat atau sampan yang dikenal dengan nama sumbuk. Perjalanan yang sangat tidak menyenangkan selama berminggu-minggu lamanya di atas kapal, terasa semakin lengkap dengan adanya keharusan menjalani karantina selama tiga sampai empat hari. 

Proses karantina ini dilakukan untuk menghindari tersebarnya wabah penyakit yang mungkin dibawa oleh calon jamaah haji di suatu tempat yang telah ditetapkan penguasa Hijaz saat itu.

Dikutip dari buku yang berjudul ‘Haji Tempo Dulu’ karya Emsoe Abdurrahman bahwa kewajiban untuk masuk karantina sendiri diputuskan akhir abad ke 19 melalui sebuah konferensi internasional di Paris yang diikuti Turki, Rusia, Prancis, dan Belanda untuk mengambil tindakan guna menghindari wabah penyakit di Makah. Dalam konferensi itu diputuskan, semua orang yang hendak berlabuh di Jedah harus masuk karantina terlebih dulu di sebuah pulau di Laut Merah.

Bagaimana proses karantina tersebut berlangsung? Menurut informan terpenting Pemerintah Hindia Belanda, Dr Snouck Hurgronje bahwa dalam rangka membersihkan para jamaah dari kuman penyakit mereka dikurung dalam karantina di Pulau Kameran. Dimana kondisinya digambarkan sebagai sebuah pulau yang keadaannya sangat tidak bersahabat.

“Mereka harus membayar untuk segala sesuatunya, juga bagi biaya karantina, padahal dari sana mereka malah sering membawa penyakit demam,” kata Snouck Hurgronje.

Hal senada juga diungkapkan pula oleh RAA Wiranatakusumma (Bupati Bandung, 1874-1893) yang menggambarkan tempat tersebut sebagai sebuah tempat yang tidak mengenal kebersihan dan sebagai awal dari semua kejorokan.

Ia menceritakan bahwa awalnya proses karantina dimaksudkan untuk menghindari penyebaran wabah penyakit di Makah, terutama muntaber sehingga semua orang yang hendak berlabuh di Jedah harus masuk karantina terlebih dahulu di Laut Merah.

Namun pada praktiknya proses karantina tersebut tidak bisa dilepaskan dari usaha mencari keuntungan. Dengan adanya karantina, Pemerintah Inggris sebagai pemegang hak kekuasaan di Kameran mendapatkan keuntungan berlipat.

“Setiap tahunnya tidak kurang dari seperempat juta gulden dari jamaah haji masuk ke kas Pemerintah Inggris. Bagi para jamaah, Kameran bagaikan sebuah penjara,” kata Wiranatakusumma.

Wiranatakusuma menuliskan, “Dimulailah acara ‘membongkar’ para penumpang kapal yang ‘dimuatkan’ ke dalam perahu-perahu yang dihela oleh ‘stoombarkas’ itu ke darat. Wanita-wanita yang tengah hamil dan para orang tua, yang lemah lunglai lagi lesu kehabisan tenaga setelah berhari-hari berada dalam kapal yang panas itu, harus sabar menanggung segala kesusahan yang harus dijalaninya itu.”

Bagi para jamaah, sebagaimana diungkapkan Dalem Bandung bahwa acara turun ke daratan itu bukan hal mudah. Akan ada kesusahan dan penderitaan tambahan yang harus mereka dapatkan di tempat yang asing tersebut. Sesampainya di tempat karantina, para petugas medis biasanya memeriksa kesehatan para calon haji dan melakukan pembersihan terhadap barang-barang yang dibawanya.

Perlakuan yang kurang manusiawi juga harus diterima oleh para jamaah calon haji, mereka akan dimandikan secara bergiliran dengan Iysol dan air yang jauh dari kesan bersih. Hal yang menyedihkan, banyak jamaah perempuan yang diperlakukan sama dengan jamaah laki-laki.

Kondisi ini tentu saja sangat bertentangan dengan ajaran Islam dan kesucian ibadah haji itu sendiri yang kemudian dikeluhkan oleh banyak pihak.

Setelah menjalani sterilisasi di dalam karantina, para calon haji ini akan kembali ke kapal untuk melanjutkan sisa perjalanan ke Jedah. Mereka akan diangkut kembali dari tepian Pulau Kameran menujun kapal dengan menggunakan sumbuk yang sempit dan tidak bertutup (beratap).
Calon jamaah haji dimasa kolonial Belanda ternyata juga mengalami proses karantina. Adapun kala itu ada dua karantina di Indonesia yakni di Pulau Onrust (Kepulauan Seribu, Jakarta) dan di Pulau Robiah (Sabang, Aceh). Tujuan karantina ini untuk mengetahui kesehatan calon jamaah haji apakah layak atau tidak untuk melakukan perjalanan ke tanah suci.

Pada waktu itu, setelah calon jamaah haji memiliki pas haji yakni dengan membayar biaya sebesar 100 gulden (f100), setara dengan 50 dolar AS kepada Belanda, maka mereka dapat lanjut ke tahap berikutnya. Jamaah kemudian akan di karantina telebih dahulu di Pulau Onrust (Kepulauan Seribu, Jakarta). Dalam masa karantina itu, jamaah akan dicek kesehatannya.

Setelah melewatii pos karantina pertama, calon jamaah  haji selanjutnya akan dikarantina di pulau Robiah (Sabang, Aceh). Khusus bagi jamaah haji asal Sumatra, pemeriksaan kesehatan langsung di Pulau Robiah, tak perlu ke pos pertama.
Di pos kedua ini, jamaah mendapat kepastian apakah masih layak menempuh  perjalanan jauh atau gagal berangkat, disebabkan terjangkit penyakit atau alasan medis tertentu.

Setelah melewati pos kedua, jamaah haji pun menempuh pelayaran panjang hingga mencapai Laut Merah. Sebelum memasuki Jeddah, jamaah haji diperiksa kembali di pos karantina Pulau Kamaran selama 3 sampai 4 hari. Awalnya, pemerintah Turki menjadikan Pulau Abu Sa’d sebagai tempat pemeriksaan kesehatan. Namun, demi menjaga agar penyakit tidak mudah menular, maka pemerintah Turki memindahkannya di sebelah selatan yakni di Pulau Kamaran.

Selain itu ada juga pos karantina di Pulau Wasta dan Abu Ali. Ketiga pulau itu terletak tidak jauh dari Makkah. Bagi  yang didiagnosa terjangkit penyakit, ia dirawat di pulau itu hingga sakitnya sembuh. Sesampai di Jeddah, para jamaah haji kembali diperiksa di pos-pos karantina berskala kecil.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dua Alasan Islam Larang Hubungan Suami-Istri Melalui Dubur

Majalah fajar Islam.com- JAKARTA --  Ketua Yayasan Dinamika Umat, Kahuripan, Kemang, Bogor, Ustaz Hasan Basri Tanjung, menuturkan setidaknya dua alasan mengapa Islam melarang hubungan suami-istri lewat dubur. "Melakukan hubungan suami-istri lewat dubur atau tempat yang tidak seharusnya merupakan perbuatan yang diharamkan agama," kata dia, Ahad (23/8).

Kasus Femicide di Turki Meningkat Tajam Setelah Kudeta Gagal

Majalah Fajar Islam-ANKARA -- Kasus  femicide  di Turki meningkat tajam sampai 25 persen dan mencapai 409 pada 2017, sehingga menyulut kemarahan masyarakat, yang menuntut tindakan yang lebih efektif terhadap masalah besar sosial itu.  Femicide  adalah pembunuhan terhadap seorang perempuan, oleh orang dekat atau mantan orang dekat. 

Psikologis Saipul Jamil Diperiksa untuk Pastikan Dugaan Kelainan Seksual

 Majalah Fajar Islam.com-JAKARTA -- Penyidik Polsek Kelapa Gading Jakarta Utara akan memeriksa psikologis pedangdut Saipul Jamil (SJ) yang menjadi tersangka pelecehan seksual terhadap remaja pria berinisial DS. "Yang bersangkutan (SJ) akan menjalani pemeriksaan psikologis dan psikiatri pada pekan depan," kata Kepala Bidang Kedokteran dan Kesehatan (Kabiddokkes) Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Musyafak di Jakarta, Ahad (21/2).